Jan 23, 2008

Dan Bedaya-Legong Pun Menyatu di Taman Ismail Marzuki



Retno Maruti (kiri) dan Ayu Bulantrisna Djelantik dalam pementasan "The Amazing Bedaya-Legong". [Pembaruan/Luther Ulag]
- Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Jumat (21/4) sore.
Dua maestro tari klasik di Indonesia, Retno Maruti dan Ayu Bulantrisna Djelantik pemantiknya. Keduanya, bersama 16 penari lainnya tampil membawakan pentas tari The Amazing Bedaya-Legong dengan lakon Calonarang.
Kedelapan belas penari, sembilan penari Bedaya, dan sembilan penari Legong, seolah tengah memberikan tafsir baru wajah budaya daerah, Jawa dan Bali, serta wajah kebudayaan Indonesia. Para penari klasik Jawa yang membawakan tari Bedaya tidak merasa canggung saat harus menari dengan iringan gamelan Bali dan begitu pula sebaliknya. Ayu Bulantrisna Djelantik bersama penari-penari Legongnya, mampu bergerak harmonis dalam iringan gamelan Jawa nan anggun. Hasilnya, garapan memikat yang baru pertama kalinya tampil di bumi Indonesia sepanjang sejarah Republik ini.
Kekompakan para penari, baik penari Jawa maupun Bali, mendapat dukungan kuat dari panabuh gamelan. Penabuh gamelan Bali tampak duduk di sayap kiri panggung dan penabuh gamelan Bali di sebelah kanannya jika dilihat dari arah penonton. Tirai tipis yang membatasi barisan penabuh gamelan dengan delapan belas penari, memberikan kesempatan luas bagi penonton untuk melihat para penabuh itu.
Penonton sulit membandingkan penari dari kelompok mana yang tampil lebih baik dari kelompok lainnya. Penari tari Bedaya dari Jawakah? Penari Legong dari Balikah yang lebih baik? "Sudah saatnya kita tidak sibuk mencari perbedaan. Saatnya kini kita hidup dalam perbedaan dan saling mengisi satu sama lainnya. Kami dari Padnecwara merasa bahagia Bulantrisna dan kawan-kawannya mau berkolaborasi,'' ungkap Retno sebelum pertunjukan.
Hasil Obrolan
The Amazing Bedaya-Legong memang tidak lepas dari pembicaraan Retno Maruti dengan anaknya, Rury Nostalgia, soal rencana memperingati ulang tahun komunitas seni Padnecwara ke-30. Hasil obrolan dalam mobil pertengahan 2005 itu melahirkan ide yang nyaris mustahil. Mengajak maestro tari Legong dari Bali, Bulantrisna berkolaborasi. Nyaris mustahil karena sempitnya waktu. Nyaris tidak mungkin terlaksana karena Bulantrisna tinggal di seberang lautan, nun jauh di Amerika Serikat bersama keluarganya sekaligus bekerja sebagai konsultan ahli WHO, Badan Kesehatan Dunia. Tapi, kekuatan cinta di antara kedua perempuan, Retno dan Bulantrisna, mengalahkan jarak. Kedua sahabat yang sering melanglangbuana bersama saat berusia sekitar 20 tahunan di era Bung Karno itu, akhirnya sepakat untuk tampil bersama. Dua bulan setengah lalu, Bulantrisna malah terbang ke Jakarta dan tinggal sementara di Indonesia dengan satu tujuan, berlatih bersama untuk pementasan pada 21-23 April.
Semua penari, penabuh gamelan dan semua pendukung kegiatan berlatih dua kali seminggu di sebuah gedung di Jalan Kimia, Jakarta Pusat, atau di lantai tiga gedung Institut Kesenian Jakarta. Hasilnya, pertunjukan yang sudah sepatutnya menjadi catatan sejarah tari di Indonesia bahkan mungkin sejarah kebudayaan Indonesia. Padnecwara, sebuah komunitas penggiat seni Jawa yang berada di Indonesia sudah selayaknya mendapat penghormatan atas idenya untuk menggandeng penari-penari Bali. Langkah Retno yang sama sekali tidak suka berbicara politik, sebenarnya bisa ditafsirkan sebagai aksi politiknya untuk memberi tafsir atas makna keindonesiaan.
Bhinneka Tunggal Ika
Pertunjukan semalam juga bisa diartikan sebagai upaya Retno, Bulantrisna dan kawan-kawannya untuk memberi makna pada semboyan sakral bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun satu yakni Indonesia.
Para pemimpin Republik ini selayaknya bisa belajar banyak dari adegan tari saat sembilan penari Bedaya masuk ke tengah-tengah penonton dari pintu samping. Mereka berjalan di tengah penonton menuju atas panggung. Di bibir panggung, dua penari Legong menjemput mereka. Dua penata musik, I Gusti Kompyang Raka asal Bali dan Lukas Danaswara dari Solo seolah sudah sejiwa. Mengiringi gerakan para penari. Mereka saling mengisi.
Suasana mistis agak terasa di bagian awal pertunjukan saat terdengar suara rebab, gender barung, gambang dan nyanyian perlahan suara penyanyi Jawa.
Di atas pentas, Retno Maruti yang memerankan tokoh Empu Barada dan Bulantrisna yang memerankan tokoh Calonarang dengan menggunakan topeng menyeramkan pemberian kolektor topeng Beli, Emily Gandanegara seolah menghidupkan lagi lakon terkenal dari Bali. Dari Bali? Bisa jadi tidak seluruhnya benar karena kisah itu tidak lepas dari sosok Raja Erlangga, raja ternama dari tanah Jawa.
Lepas dari persoalan itu, sebagaimana yang dikemukakan Retno kepada Pembaruan dalam berbagai kesempatan, lakon Calonarang yang ia pilih merupakan upayanya untuk mengajak semua orang mengurangi sifat mencari kesalahan dan perbedaan, namun mencari titik temu persamaan.
Pernyataan Retno direfleksikan dalam pilihannya atas warna kostum pakaian. Corak kelengen yang didominasi warna hitam dan putih mendominasi pakaian penari Bedaya. Sementara pakaian penari Legong lebih cerah lagi. Perbedaan warna, perbedaan antara gerak tari Jawa yang cenderung lambat namun anggun dengan tari Bali yang dinamis dan diwarnai gerakan kejutan, menyatu dalam rangkaian tata gerak yang indah.
Saat penari Bali meliuk-liuk dengan cepatnya, dari pojok belakang panggung sembilan penari bergerak anggun tanpa mengangkat kaki. Mereka menggeser-geserkan kedua kakinya. Membelah panggung secara diagonal. Hasilnya komposisi gerak dan pengisian panggung yang apik.
Di akhir pementasan, lampu yang terasa redup mengiringi para penari. Setiap penari memegang dua dupa yang menyala. Nyala api kecil dari 36 batang dupa memberikan efek pandangan yang unik. Belum lagi wangi dupa yang sempat menyambar hidung penonton.
"Sejak kecil saya bermimpi bisa bermain bersama Ibu Bulan. Tuhan Mahabaik. Saya sekarang menari bersama Ibu Bulan dan malah bersama dengan Ibu Retno Maruti. Saya dan pasti teman penari lainnya pasti merasakan betapa keduanya tengah mencoba mengajarkan arti penting budaya daerah. Saya bangga menjadi orang Indonesia," kata salah seorang penari Legong kelahiran Jakarta, Arita Sofia, yang lahir dari keluarga Jawa. [Pembaruan/Aa Sudirman]

No comments: